TRANSPLANTASI
1.4.1 Pengertian Tranplantasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, transplantasi adalah perpindahan jaringan tubuh dari suatu tempat ke
tempat lain.
Menurut istilah kedokteran berarti usaha memindahkan sebagian dari
bagian tubuh dari suatu tempat ke tempat lain atau upaya medis untuk
memindahkan sel, jaringan, atau organ tubuh dari donor kepada resipien.
Transplantasi
berarti; “suatu proses pemindahan atau pencangkokan jaringan atau organ tubuh
dari suatu atau seorang individu ke tempat yang lain pada individu itu atau ke
tubuh individu lain”. Dalam dunia kedokteran jaringan atau organ tubuh yang
dipindah disebut graft atau transplant. pemberi transplant disebut donor.
penerima transplant disebut kost atau resipien.
Donor organ dapat merupakan orang
yang masih hidup ataupun telah meninggal. Penggunaan organ tubuh mayat manusia
untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan hidupnya merupakan suatu
kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu, dalam keadaan darurat organ
tubuh mayat dapat dimanfaatkan untuk pengobatan. Akan tetapi manfaat organ
tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
·
Pengobatan
tidak bisa dilakukan kecuali dengan organ tubuh mayat manusia
·
Manusia yang
diobati itu adalah orang yang haram darahnya( seseorang yang memelihara
kehormatannya).
·
Apabila jiwa
yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seorang
yang telah melakukan hukuman kisas atau seorang yang akan dikenai hukuman rajam
karena berbuat zina) maka manfaat organ tubuhmayat tidak boleh dibaginya
·
Penggunaan
organ tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat
·
Penggunaan
organ tubuh mayat manusia itu mendapat izin dari orang tersebut(sebeum wafat)
atau ahli warisnya (setelah wafat).
1.4.2 Jenis-Jenis Tranplantasi
1. Dilihat dari segi mana transplantasi diperoleh,
maka dapat dibedakan sbb:
Pencangkokan
organ tubuhnya sendiri (ototransplantasi), artinya organ yang dicangkokan dari tubuhnya sendiri, seperti
mengambil kulit kepala atau paha untuk dipindahakan
ke tangan dsb.
a.
Pencangkokan
organ tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya.
b.
Pencangkokan
tubuh hewan kepada manusia (heterotransplantasi), seperti dari simanse kepada
manusia.
2.
Mengenai
pencangkokan tubuh manusia yang satu kepada manusia yang lainnya dapat
diklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) tipe :
a)
Donor
dalam keadaan hidup sehat.
b)
Donor
dalam keadaan hidup koma.
c)
Donor
dalam keadaan mati.
3.
Sedangkan
pencangkokan dari organ tubuh hewan dapat dibedakan menjadi
a)
Hewan
yang najis.
b)
Hewan
yang suci.
4.
Dilihat
dari segi dasar motif transplantasi dapat dibedakan :
a)
Penyembuhan
penyakit kronis yang mengancam jiwa.
b)
Pemulihan
cacat tubuh / praktek kedokteran.
c)
Hanya
ingin memperoleh kenikmatan dan pemuasan individual semata.
5.
Melihat
dari pengertian diatas, kita bisa membagi transplantasi itu pada 2 (dua) bagian
:
1. Transplantasi Jaringan,
seperti pencangkokan cornea mata.
2. Transplantasi Organ, seperti
pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
6.
Melihat
dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang
ditransplantasikan) dan resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau
organ), ada 3 (tiga) macam pencangkokan, yaitu:
1.
Auto Transplantasi, yaitu
transplantasi dimana donor resipiennya satu
individu. Contohnya
seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan
daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2.
Homo Transplantasi, yakni dimana
transplantasi itu si donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya,
(jenis disini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia
dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan
resipiennya dua individu yang masih
hidup; bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang
disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3. Hetero Transplantasi, yaitu donor
dan resipiennya dua individu yang
berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan
sedangkan resipiennya manusia. (Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Hasil Muktamar NU, HL. 484)
Pada kasus auto transplantasi
hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan
atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh
resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada
homo transplantasi dikenal adanya 3 (tiga) kemungkinan:
1.
Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur,
maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan
ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto
transplantasi.
2.
Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah
orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada
golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3.
Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara,
maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi
paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan
cadaver donor, karena :
1.
Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang
immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
7. MACAM-MACAM DONOR TRANSPLANTASI
1. TRANSPLANTASI AUTOLOGUS, yaitu perpindahan dari satu tempat
ketempat lain dalam tubuh itu sendiri, yang dikumpulkan sebelum pemberian
kemoterapi.
2. TRANSPLANTASI ALOGENIK, yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain
yang sama spesiesnya, baik ada hubungan keluarga atau tidak.
3.
TRANSPLANTASI SINGENIK, yaitu
perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain yang identik, misalnya pada kasus
kembar identik.
4. TRANSPLANTASI XENOGRAFT, yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh
lain yang tidak sama spesiesnya.
Organ atau
jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau
dari jenazah orang yang baru meninggal dimana meninggal sendiri didefinisikan
kematian batang otak.
1.
Organ-organ yang diambil dari donor hidup seperti : kulit ginjal sumsum tulang
dan darah (transfusi darah).
2.
Organ-organ yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea,
pankreas, paru-paru dan sel otak.
Ada dua
komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi
(nursing-transplan.blogspot.com), yaitu :
1.
Eksplantasi, yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau
yang sudah meninggal.
2.
Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada
bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain.
1.4.3 Pandangan
Tranplantasi dari Segi Agama
1. Pandangan menurut agama Islam
Ajaran agama islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa
dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai karunia
Allah SWT. Dalam
perspektif global, khususnya di negeri Muslim, membolehkan praktek
transplantasi organ dengan ketentuan kondisinya darurat dan tidak boleh
diperjualbelikan. Pada umumnya, syarat diperbolehkannya transplantasi organ
terdiri atas:
·
Harus dengan
persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit.
·
Hanya bila dirasa
benar-benar memerlukan dan darurat. Bila tidak
darurat dan keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan
imbalan pantas kepada ahli waris donatur (tanpa transaksi dan kontrak
jual-beli).
Menurut Islam hukum transplantasi
organ yaitu:
1. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan saat pendonor hidup sehat maka hukumnya haram. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195 , artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu hke dalam kebinasaan” . Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal, ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu Adh Dharuru la yuzalu bi Dharuri .
2. Apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma) atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan , berdasarkan alasan-alasan dalam hadits Rasulullah, artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang dalam keadaan sakit (koma). Orang tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya orang lain (resipien). Daf’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan saat pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.Haram jika untuk diperjual belikan dan tidak jika dalam keadaan darurat. Surat Al-Maidah: 32, artinya;”Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa manusia.
1. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan saat pendonor hidup sehat maka hukumnya haram. Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195 , artinya:”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu hke dalam kebinasaan” . Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal, ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu Adh Dharuru la yuzalu bi Dharuri .
2. Apabila transplantasi dilakukan terhadap donor yang dalam keadaan sakit (koma) atau hampir meninggal, maka hukum Islam pun tidak membolehkan , berdasarkan alasan-alasan dalam hadits Rasulullah, artinya:”Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.” (HR. Ibnu Majah). Dalam kasus ini adalah membuat madaharat pada diri orang lain, yakni pendonor yang dalam keadaan sakit (koma). Orang tidak boleh menyebabkan matinya orang lain. Dalam kasus ini orang yang sedang sakit (koma) akan meninggal dengan diambil organ tubuhnya tersebut. Sekalipun tujuan dari pencangkokan tersebut adalah mulia, yakni untuk menyembuhkan sakitnya orang lain (resipien). Daf’ul mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih.
3. Transplantasi organ tubuh yang dilakukan saat pendonor telah meninggal, ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat haram.Haram jika untuk diperjual belikan dan tidak jika dalam keadaan darurat. Surat Al-Maidah: 32, artinya;”Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Ayat ini sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelematkan jiwa manusia.
Dalam
kasus ini seseorang yang dengan ikhlas menyumbangkan organ tubuhnya setelah
meninggal, maka Islam membolehkan. Bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan
kemanusiaan yang tinggi nilainya, lantaran menolong jiwa sesama manusia atau
membanatu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
(Keputusan Fatwa MUI tentang wasiat menghibahkan kornea mata).
Dengan demikian, pengcangkokan dan
keberadaan donor diperbolehkan dalam perspektif kesehatan Islam. Menjadi
pendonor hukumnya mubah (boleh) bahkan bernilai ibadah kalau dilakukan dengan
ikhlas asal tidak membinasakan pendonor dan menjadi haram bila membinasakannya.
Orang meninggal boleh dimanfaatkan organnya untuk pengobatan dengan catatan
sebelum wafat orang tersebut mengizinkannya.
2. Pandangan Menurut Agama Hindu
Tertulis dalam
kitab Dharma Sastra Sarasamuccaya, antara lain Saras III. 39 :
Sudah menjadi hukum
keluarga bahwa saat kematian telah tiba tinggallah jasmani yang tidak berguna
dan pasti dibuang. Maka itu, berusahalah berbuat berdasarkan darma sebagai
sahabatmu untuk mengantarkan engkau ke dunia bahagia kekal.
Menurut ajaran Hindu transplantasi organ tubuh dapat dibenarkan dengan alasan,
bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang yang menderita, agar dia bebas
dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan kebahagiaan, jauh lebih
penting, utama, mulia dan luhur, dari keutuhan organ tubuh manusia yang telah
meninggal. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini harus dilakukan diatas prinsip yajna
yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud
mendapatkan keuntungan material.
Prinsip kesadaran utama yang diajarkan dalam
agama Hindu adalah bahwa badan identitas kita yang sesungguhnya bukanlah badan
jasmani ini, melainkan adalah Jiwatman (roh). Badan jasmani merupakan benda
material yang dibangun dari lima zat (Panca Maha bhuta) dan akan hancur
kembali menyatu ke alam makrokosmos dan tidak lagi mempunyai nilai guna.
Sedangkan Jiwatman adalah kekal, abadi, dia tidak mati pada saat badan jasmani
ini mati, senjata tidak dapat melukaiNya, api tidak bisa membakarNya, angin
tidak bisa mengeringkan-Nya dan air tidak bisa membasahi-Nya.
Dari sudut pandang Agama Hindu transplantasi organ tubuh manusia diperkenankan
dengan dasar alasan kemanusiaan secara sukarela untuk menolong nyawa manusia
lain, yang tidak diperkenankan menjadikan organ tubuh manusia sebagai objek jual
beli secara komersial. Tindakan transplantasi harus didahului dengan
serangkaian prosedur yang harus dilalui oleh pasien, selain prosedur test
kesehatan terdapat prosedur yang wajib dilakukan oleh pasien yaitu membuat
persetujuan secara tertulis tentang kesediannya menjalani transplantasi organ.
Agama Hindu tidak melarang umatnya untuk melaksanakan transplantasi organ tubuh
dengan dasar yajna (pengorbankan tulus iklas dan tanpa pamrih) untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Transplantasi sebagai salah
satu bentuk pelaksanaan ajaran Panca Yajna terutama Manusa Yajna serta
disesuaikan dengan adat desa setempat karena Agama Hindu sangat fleksibel dan
mengikuti perkembangan zaman.
Menurut ajaran Hindu, transplantasi
organ tubuh dapat dibenarkan dengan alasan bahwa pengorbanan (yajna)
kepada orang yang menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan dapat
menikmati kesehatan dan kebahagiaan. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini
harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa
pamrih dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatkan keuntungan material. Alasan
yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22 sebagai
berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani, tatha
sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” Artinya: seperti halnya
seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama, begitu pula Sang
Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan meninggalkan badan-badan
lama yang tiada berguna Berkat
kemajuan dan bantuan teknologi canggih di bidang medis (kedokteran), maka
sistem pencangkokan organ tubuh orang yang telah meninggalpun masih dapat
dimanfaatkan kembali bagi kepentingan kemanusiaan. Demikian pandangan agama Hindu
terhadap transplantasi. Umat Hindu
mempercayai bahwa menolong itu merupakan karma baik karrna dalam agama
hindu ada istilah “wasu deva kutum baham” setiap makhluk hidup bersaudara.
3. Pandangan Transplantasi Menurut Kristen Protestan
Pada umumnya
Gereja memperkenankan transplantasi organ tubuh, adalah Injil Kehidupan,
menurut pandangan Iman Kristen transplantasi organ merupakan salah satu bentuk
perbuatan yang terpuji karena dapat membantu orang yang kesehatan tubuhnya
terganggu atau sakit dan juga ingin menyelamatkan jiwa seseorang. Apabila donor
organ tubuh adalah seorang yang telah meninggal dunia, maka tidak timbul
masalah normal. Seseorang yang
mungkin berkehendak untuk mendonorkan tubuhnya dan memperuntukkannya bagi
tujuan-tujuan yang berguna, yang secara moral tidak bercela dan bahkan
luhur dan punya keinginan untuk menolong orang yang sakit dan menderita
maka keputusan ini tidak dikutuk melainkan dibenarkan.
Kaitan
transplantasi organ menurut Firman Tuhan : Kejadian 2 : 21 –
22 , lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak, ketika ia tidur,
Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging.
Kristen protestan
sendiri memperbolehkan transplantasi. Iman kristen
didasarkan dalam kehidupan Yesus Kristus. Sepanjang hidupnya, Yesus mengajar
orang untuk mencintai satu sama lain dan dia membuktikan cintanya kepada dunia
atas salib. Hal ini karena bahwa orang Kristen menganggap donor organ tubuh
sebagai tindakan cinta sejati dan cara mengikuti teladan Yesus. Sebuah
resolusi pada tahun 1985, yang diadopsi oleh Majelis Umum, mendorong
anggota Gereja Kristen (Murid-murid Kristus) untuk mendaftar sebagai donor
organ dan
dukungan doa mereka yang telah menerima transplantasi organ "Gereja
tidak menentang donor organ tubuh selama organ-organ dan jaringan digunakan
untuk kehidupan manusia yang lebih baik, yaitu, untuk transplantasi atau untuk
penelitian yang akan mengarah pada peningkatan dalam pengobatan dan pencegahan
penyakit. Sumbangan organ dan jaringan adalah tindakan yang tidak
mementingkan diri sendiri. Dalam pandangan agama Protestan, hal itu
tertulis dalam Kitab Matius 22:38-39:
4. Pandangan Transplantasi Menurut Agama
katolik
Pencangkokan
ditegaskan Paus Yohanes Paulus I pada September 1978: Mendonorkan
anggota tubuh setelah meninggal adalah sumbangan kemanusiaan yang mulia dalam
rangka memperbaiki dan memperpanjang hidup sesamanya.
Katolik melihat organ jaringan
donasi sebagai tindakan amal dan cinta. Transplantasi secara moral dan
etis dapat diterima oleh Vatikan. Transplantasi di perbolehkan jika dengan niat ikhlas
dan tidak untuk diperjualbelikan. Karena agama Katolik itu sangat menjunjung
tinggi kehidupan.
5. Pandangan
Transplantasi Menurut Agama Budha
Dalam
pengertian Budha, seorang terlahir kembali dengan badan yang baru. Oleh karena
itu, pastilah organ tubuh yang telah didonorkan pada kehidupan yang lampau
tidak lagi berhubungan dengan tubuh dalam kehidupan yang
sekarang. Artinya, orang yang telah mendanakan anggota tubuh tertentu
tetap akan terlahir kembali dengan organ tubuh yang lengkap dan normal. Ia yang
telah berdonor kornea mata misalnya, tetap akan terlahir dengan mata
normal, tidak buta. Malahan, karena donor adalah salah satu bentuk
kamma baik, ketika seseorang berdana kornea mata, dipercaya dalam kelahiran
yang berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata
yang ia miliki dalam kehidupan saat ini.
Budha
percaya bahwa donasi organ dan jaringan adalah masalah hati nurani individu dan
menempatkan nilai tinggi pada tindakan-tindakan belas kasih. Pendeta Gyomay
Masao, dan pendiri Candi Budha Chicago mengatakan, "Kita menghormati
orang-orang yang menyumbangkan organ tubuh mereka dan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan medis untuk menyelamatkan nyawa. Dalam
agama Buddha, berdana berupa transplantasi merupakan Dana
Paramita, yang dapat meningkatkan nilai kehidupan manusia di dalam kehidupan
yang akan datang.
EUTHANASIA
2.1
Pengertian Euthanasia
Ø Kode Etik Kedokteran Indonesia
menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1.
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Tuhan di bibir.
2.
Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang
3.
Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Ø Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia
ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologis, euthanasia diartikan :
1.
Dengan
sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien
2.
Dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup pasien
3.
Dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien
Ø Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia
berarti mati dengan tenang dan baik.
Ø Suetonis penulis Romawi dalam
bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa Euthanasia “mati cepat
tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran
rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian
dengan pertolongan dokter.
Ø Dari beberapa katagori tersebut, dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah sebagai berikut :
a)
Berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b)
Mengakhiri
hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
c)
Pasien
menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali
d)
Atas
atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya
e)
Demi
kepentingan pasien dan keluarganya
2.2
Sejarah Euthanasia
Kata
eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu”
(= baik) and “thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti
“kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah
“eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah
tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa
penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan
untuk menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya.
Dalam
sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun
“membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
2.2.1
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah
memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun
1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula
oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung
eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia
atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang
pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang
sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan
permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas
kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan
suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak
di bawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh,
ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini
dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action
T4″) yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo atau lansia.
2.2.2
Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman
Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka
berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan
eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh
cacat genetika.
2.2.3
Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala
Praktek-praktek Eutanasia yang
dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
- Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
- Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
- Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
- Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
- Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
- Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
2.3 Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia bisa
ditinjau dari berbagai
sudut, seperti cara pelaksanaanya,
dari mana datang permintaan,
sadar tidaknya pasien dan
lain-lain.
2.3.1
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya, maka
eutanasia dapat digolongkan menjadi dua yaitu eutanasia agresif dan
eutanasia non agresif.
1) Eutanasia agresif : atau suatu
tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya
dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam
tubuh pasien.
2) Eutanasia non agresif : atau
kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk
kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan
sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan).
Auto-eutanasia pada dasarnya
adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.
2.3.2
Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin
maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
- Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
- Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
- Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
2.3.3
Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari
dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
- Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
- Eutanasia hewan
- Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela
Secara garis
besar euthanasia
dikelompokan dalam dua
kelompok, yaitu euthanasia aktif
dan euthanasia pasif. Dibawah ini dikemukakan beberapa jenis
euthanasia:
a)
Euthanasia
aktif
Euthanasia aktif
adalah perbuatan yang dilakukan
secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup seorang (pasien) yang
dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan
obat-obatan yang bekerja cepat
dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi
dua golongan
·
Euthanasia
aktif langsung
, yaitu cara pengakhiran
kehidupan melalui
tindakan medis yang
diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan
memberi tablet sianida
atau suntikan zat yang
segera mematikan
·
Euthanasia
aktif tidak langsung
, yang menunjukkan
bahwa tindakan
medis yang dilakukan
tidak akan langsung
mengakhiri hidup
pasien, tetapi diketahui
bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri
hidup pasien. Misalnya,
mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan
lainnya.
b)
Euthanasia
pasif
Euthanasia pasif
adalah perbuatan menghentikan
atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk
mempertahankan hidup manusia,
sehingga pasien diperkirakan akan meninggal
setelah tindakan pertolongan
dihentikan. Eutanasia
pasif juga bisa
dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak lagi
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya
dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun
disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu
mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung
dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa
dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada
keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan
pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat “pernyataan pulang paksa”. Bila
meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif
medis.
2.4
Euthanasia Menurut Berbagai Agama di Indonesia
2.4.1
Euthanasia Menurut Agama Islam
Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Euthanasia merupakan suatu
tindakan medis yang dilakukan secara sadar untuk mengakhiri suatu kehidupan
untuk melepaskannya dari penderitaan yang tidak ada perlakuan/pengobatan yang
memungkinkan.
Menurut agama Islam sendiri
euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak
diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu. Syariah Islam merupakan syariah
sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
Hukum Euthanasia dalam syariah islam
dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
a. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan
euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien.
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Firman Allah SWT
:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am :
151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang
mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia
aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana
Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh (QS Al-Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh
(waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash
tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT :
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula) (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di
mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat
An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111).
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau
dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram
emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram
perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
b.
Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif bergantung kepada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,
mandub,mubah, atau makruh. Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub
(sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat
adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada
satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib),
tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut,
adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali
menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Dengan demikian, jelaslah pengobatan
atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien.
Abdul Qadim Zallum (1998:69)
mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati
organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Hukum pemasangan alat-alat bantu
kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya
sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ
otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan
berdosa.
2.4.2 Euthanasia Menurut Agama
Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma
merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran
kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang
buruk adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran
Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti
siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan
yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut
dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena
menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,
maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai
masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya
umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60
tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka
rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan
kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan
“karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
2.4.3 Euthanasia Menurut Agama Budha
Euthanasia atau mercy killing
baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan
membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih
sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh
atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan
dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin
akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya
hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk.
Ia yang memiliki kasih sayang tentu
akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu
selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi
tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat.
Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal
agar orang tersebut dapat sembuh.
Sesungguhnya orang yang ‘membunuh
karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia
sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit
itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari
penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk
pengorbanan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana
ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal
semacam itu.
Sang Buddha pernah bersabda sebagai
berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir
di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia
pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu
gelisah”. Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau
pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan
kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu
mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir
kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran
yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di
alam yang menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak
menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah
dilakukannya pada masa kehidupan lampau. Ada orang yang sakit parah itu
meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang
menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan
takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini
berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.
2.4.4 Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik
Gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang
menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja
mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin meningkatnya praktek
eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar
melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian’. Katekismus
Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja
Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral:
Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu
maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk
melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap
kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Ketiga,
dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan
penolakan terhadap rencana Allah.
Eutanasia secara harfiah
diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan,
adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud
sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit”
(Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri
hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau
dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat
bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini
paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan
sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri
penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu
pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja
dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65).
Pasien atau wali dalam kasus pasien
tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau mengakhiri
prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata
pasien, tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan
pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat
berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan
yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu
serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan
yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat.
Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih
Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan
sarana-sarana perawatan kesehatan biasa.
Sebagai contoh ada orang yang
menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya
menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma. ia makan lewat selang
makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para
dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka
lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi
medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya
sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan
respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan beberapa menit
kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara
moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja.
2.4.5 Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam
pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
- Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
- Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa
mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan
dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu
awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan
ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa
depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang
dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan
kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun
juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
2.5 Tinjauan
Etis Euthanasia
Tinjauan
Kedokteran Profesi
tenaga medis sudah sejak lama
menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan
dan bukan untuk mematikan.
Profesi medis adalah untuk merawat
kehidupan dan bukan untuk merusak
kehidupan. Sumpah Hipokrates
jelas-jelas menolaknya, “Saya
tidak akan memberikan racun yang mematikan
ataupun memberikan saran
mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.”
Sumpah ini kemudian
menjadi dasar sumpah seluruh
dokter di dunia, termasuk di Indonesia.
Mungkin saja sumpah ini bukan
Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam
pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran
Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan
bahwa seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani.
Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran,
dokter tidak diperbolehkan
mengakhiri hidup seorang
yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan
pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan
mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama
sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun
jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan
oleh dokter yang berpengalaman
yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu
dilakukan setelah diadakan
konsultasi dengan dokter yang
berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan
keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan.
2.6 Tinjauan Filosofis-Etis
Dari
segi filosofis, persoalan euthanasia
berhubungan erat dengan pandangan
otonomi dan
kebebasan manusia
di mana manusia ingin menguasai
dirinya sendiri secara penuh
sehingga dapat menentukan sendiri
kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk
mati). Perdebatan mengenai
euthanasia dapat diringkas sebagai
berikut: atas nama penghormatan
terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol
secara penuh atas hidup dan matinya sehingga
seharusnya ia mempunyai
kuasa untuk mengakhiri hidupnya
jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan
yang tidak berguna.
Tidak
sedikit juga yang
mendukung euthanasia. Argumentasi
yang banyak dipakai adalah
hak pasien terminal: the right to die. Menurut
mereka, jika pasien sudah sampai
akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri.
Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau
bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus
memungkinkan “kematian yang
baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
2.7 Tinjauan Yuridis Euthanasia
Di
Indonesia dilihat dari perundang-undangan
dewasa ini, memang
belum ada pengaturan (dalam
bentuk undang-undang) yang
khusus dan lengkap tentang euthanasia.
Satu-satunya yang
dapat dipakai sebagai landasan
hukum, adalah yang terdapat
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Kitab
undang-undang Hukum Pidana mengatur
sesorang dapat dipidana
atau dihukum jika ia menghilangkan
nyawa orang lain dengan
sengaja ataupun karena kurang
hati-hati. Ketentuan pelangaran
pidana yang berkaitan langsung
dengan euthanasia aktif tedapat
pada pasal
344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa
menghilangkan jiwa orang
lain atas permintaan orang itu
sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ketentuan
ini harus diingat kalangan
kedokteran sebab walaupun
terdapat beberapa alasan
kuat untuk membantu pasien
atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek
hidup pasien, ancaman
hukuman ini harus dihadapinya.
BAYI TABUNG
A.
Pengertian Bayi Tabung
Bayi tabung adalah upaya pembuahan
sel telur (ovum) di luar tubuh wanita. Teknologi ini telah dirintis oleh PC
Steptoe dan RG Edwards pada 1977. Hingga kini banyak pasangan yang kesulitan
memperoleh anak mencoba menggunakan teknologi bayi tabung. Prosedur bayi tabung
ini dimulai dengan perangsangan indung telur istri dengan hormon. Ini untuk
memacu perkembangan sejumlah folikel. Folikel adalah gelembung yang berisi sel telur. Perkembangan folikel dipantau
secara teratur dengan alat ultrasonografi dan pengukuran kadar hormon
estradional dalam darah.
Pengambilan sel telur dilakukan
tanpa operasi, tetapi lewat pengisapan cairan folikel dengan tuntunan alat
ultrasonografi transvaginal. Cairan folikel tersebut kemudian segera dibawa ke
laboratorium. Seluruh sel telur yang diperoleh selanjutnya dieramkan dalam
inkubator.
Bayi tabung
adalah bayi hasil konsepsinya (dari pertemuan antara sel telur dan sperma) yang
dilakukan dalam sebuah tabung yang dipersiapkan sedemikian rupa di
laboratorium. Didalam laboratorium tabung tersebut dibuat sedemikian rupa
sehingga menyerupai dengan tempat pembuahannya yang asli yaitu rahim ibu atau
wanita. Dibuat sedemikian rupa sehingga temperatur dan situasinya persis sama
dengan aslinya. Prosenya mula-mula dengan suatu alat khusus semacam alat untuk
laparoskopi dilakukan pengambilan sel telur dari wanita yang baru saja
mengalami ovulasi. Kemudian sel telur yang diambil tadi dibuahi dengan sperma
yang sudah dipersiapkan dalam tabung yang suasananya dibuat persis seperti
dalam rahim. Setelah pembuahan hasil konsepsi tersebut dipelihara beberapa saat
dalam tabung tadi sampai pada suatu saat tertentu akan dicangkokan ke dalam
rahim wanita tersebut. Selanjutnya diharapkan embrio itu akan tumbuh
sebagaimana layaknya di dalam rahim wanita dan sudah tentu wanita tersebut akan
mengalami kehamilan, perkembangan selama kehamilan seperti biasa.
B.
Tujuan Penemuan Bayi Tabung
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan
untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan
secara alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang
permanen. Namun, mulai ada perkembangan dimana kemudian program ini diterapkan
pula pada pasutri yang memiliki penyakit atau kelainan lainnya yang menyebabkan
tidak dimungkinkan untuk memperoleh keturunan.
2.2
Jenis Program
Bayi Tabung
A.
Pembuahan
Dipisahkan dari Hubungan Suami-Isteri
Teknik
bayi tabung memisahkan persetubuhan suami-istri dari pembuahan bakal anak.
Dengan teknik tersebut, pembuahan dapat dilakukan tanpa persetubuhan. Dengan
demikian teknik kedokteran telah mengatur dan menguasai hukum alam yang
terdapat dalam tubuh manusia pria dan wanita. Dengan pemisahan antara
persetubuhan dan pembuahan ini, maka bisa muncul banyak kemungkinan lain yang
menjadi akibat dari kemajuan ilmu kedokteran di bidang pro-kreasi manusia.
B.
Wanita
Sewaan untuk Mengandung Anak
Ada
kemungkinan bahwa benih dari suami-istri tidak bisa dipindahkan ke dalam rahim
sang istri, oleh karena ada gangguan kesehatan atau alasan-alasan lain. Dalam
kasus ini, maka diperlukan seorang wanita lain yang disewa untuk mengandung
anak bagi pasangan tadi. Dalam perjanjian sewa rahim ini ditentukan banyak
persyaratan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait. Wanita yang
rahimnya disewa biasanya meminta imbalan uang yang sangat besar. Suami-istri
bisa memilih wanita sewaan yang masih muda, sehat dan punya kebiasaan hidup
yang sehat dan baik. Praktik seperti ini biasanya belum ada ketentuan hukumnya,
sehingga kalau muncul kasus bahwa wanita sewaan ingin mempertahankan bayi itu
dan menolak uang pembayaran, maka pastilah sulit dipecahkan.
C.
Sel
Telur atau Sperma dari Seorang Donor
Masalah ini dihadapi kalau salah satu dari suami atau istri
mandul; dalam arti bahwa sel telur istri atau sperma suami tidak mengandung
benih untuk pembuahan. Itu berarti bahwa benih yang mandul itu harus dicarikan
penggantinya melalui seorang donor.
Masalah ini akan menjadi lebih sulit karena sudah masuk
unsur baru, yaitu benih dari orang lain. Pertama, apakah pembuahan yang
dilakukan antara sel telur istri dan sel sperma dari orang lain sebagai
pendonor itu perlu diketahui atau disembunyikan identitasnya. Kalau wanita tahu
orangnya, mungkin ada bahaya untuk mencari hubungan pribadi dengan orang itu.
Ketiga, apakah pria pendonor itu perlu tahu kepada siapa benihnya telah
didonorkan. Masih banyak masalah lain lagi yang bisa muncul.
2.3
Pandangan Agama
Islam Mengenai Program Bayi Tabung
Masalah ini sejak tahun 1980-an
telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun
1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh
Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986
mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan
pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri.
Fatwa MUI:
1.
Bayi tabung
dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah
(boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2.
Bayi tabung
dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari
isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah
Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam
kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan
ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
3.
Bayi tabung
dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram
berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah
yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya
dengan hal kewarisan.
4.
Bayi tabung
yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah
hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan
jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd
az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Hukum senada juga difatwakan oleh
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai hasil dari forum Munas Alim Ulama di Kaliurang,
Yogyakarta pada 1981. Hanya saja NU memberikan penekanan bahwa apabila sperma
yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak
muhtaram, maka hukumnya juga haram. "Mani muhtaram adalah mani yang
keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
"Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan
beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena istri
memang tempat atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.
2.4 Pandangan Agama
Kristen Mengenai Program Bayi Tabung
a.
Pandangan Agama Kristen Katolik
Gereja katolik tidak
mengijinkan bayi tabung. Sebab bayi tabung merupakan teknologi fertilisasi atau
konsepsi yang dilakukan oleh para ahli. Jika manusia mengolah bayi tabung,
artinya manusia itu sudah melampaui kewajaran atau melebihi kuasa Allah Bapa
yang sudah menciptakan manusia. Fertilisasi in vitro menghapuskan tindakan
kasih perkawinan sebagai sarana terjadinya kehamilan, dan bukannya membantu
tindakan kasih suami isteri itu mencapai tujuannya yang alami. Kehidupan baru
tidak dibuahkan melalui suatu tindakan kasih antara suami dan isteri, melainkan
melalui suatu prosedur laboratorium yang dilakukan oleh para dokter atau ahli
medis. Suami dan isteri hanya sekedar sebagai sumber “bahan baku” telur dan
sperma, yang kemudian dimanipulasi oleh seorang ahli sehingga menyebabkan
sperma membuahi telur. Tak jarang pula dipergunakan telur atau sperma dari
“donor”. Artinya, ayah atau ibu genetik dari anak bisa saja seorang lain dari
luar perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan situasi yang membingungkan bagi si
anak kelak, apabila ia mengetahui bahwa salah satu dari orangtua yang
membesarkannya, bukanlah orangtua bilogisnya.
Menurut gereja
katolik pernikahan bukanlah tujuan untuk mendapatkan anak, tetapi ada tujuan
lain, yaitu untuk menyatukan seorang laki-laki dan seorang wanita yang sudah
direncanakan Tuhan. Dengan melihat janji pernikahan menurut agama katolik,
yaitu:
1.
Tidak boleh diceraikan, kecuali oleh maut.
2.
Suka
3.
Duka
4.
Miskin dan
5.
Kaya.
Seorang anak akan
diberikan Tuhan jika calon orang tua sudah siap. Karena apa yang diberikan
Tuhan, itu semua adalah rencana-Nya, dan itu baik buat manusia.
Persatuan cinta
suami istri berlansung secara jasmaniah sedangkan bayi tabung mengingkari
kodrat perkawinan. Seorang suami karena ingin memiliki anak lalu dia ingin
menikah lagi dengan wanita lain sangat dilarang oleh agama katolik. Karena
pernikahan dilakukan untuk seumur hidup baik suka maupun duka.
Praktek
IVF / bayi tabung dan ET itu tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, karena
beberapa alasan, diantaranya:
a.
Umumnya IVF melibatkan aborsi, karena embryo yang tidak berguna
dihancurkan/dibuang.
b.
IVF adalah percobaan yang tidak mempertimbangkan harkat sang
bayi sebagai manusia, melainkan hanya untuk memenuhi keinginan orang tua.
c.
Pengambilan sperma dilakukan dengan masturbasi. Masturbasi selalu
dianggap sebagai perbuatan dosa, dan tidak pernah dibenarkan.
d.
Persatuan sel telur dan sperma dilakukan di luar hubungan suami istri
yang normal.
e.
Praktek IVF atau bayi tabung menghilangkan hak sang anak untuk dikandung
dengan normal, melalui hubungan perkawinan suami istri. Jika melibatkan ‘ibu
angkat’, ini juga berarti menghilangkan haknya untuk dikandung oleh ibunya yang
asli.
b.
Pandangan Agama Kristen Protestan
Menurut pandangan
agama Kristen protestan, program bayi tabung diizinkan untuk dilaksanakan.
Asalkan, dalam konteks yang melaksanakannya adalah pasangan suami isteri yang
sudah diberkati atau dinikahi. Program ini dilaksanakan karena banyak orang
yang masih mendambakan anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Tuhan berfirman
"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu
berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala
sesuatu membangun. (l korintus 10:23).
Program bayi tabung
merupakan hasil pemikiran manusia. TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya,- demikian manusia
itu menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7).
Bayi tabung
boleh dilakukan asalkan dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dan tidak
melibatkan orang lain. Maksudnya tidak menyewa rahim atau mengambil sel telur
milik wanita lain selain isterinya. Dan tidak mengambil atau menggunakan sperma
laki-laki lain selain suaminya. Mengapa? karena lebih baik orang itu suami atau
isteri menikah lagi, dari pada melakukan hal ini. Karena perbuatan ini adalah
pebuatan berzinah. Sebab ada tertulis "Jangan berzinah"(Keluaran
20:14). Alangkah baiknya jika pasangan suami isteri yang ingin memiliki
anak mengikuti program ini, dari pada suami tidak menikahi isteri orang lain
dan melakukan hal-hal yang tidak diinginikan. Demikain halnya dengan pasangan
suami isteri yang tidak memiliki biaya untuk mengikuti program bayi tabung bisa
mengandalkan doa. Seperti yang terdapat di Lukas
1:5-25 [Pemberitahuan tentang kelahiran Yohanes Pembabtis). Dalam Bagian
ini diceritakan bahwa Elisabet adalah perempuan mandul. Karena Rlisabet dan
suaminya Zakharia meminta dengan sungguh-sungguh dan tanpa henti-henti akhirnya
Tuhan menjawab doa mereka. TUHAN mengutus malaikatnya untuk menyampaikan kabar
ini kepada Zakaria pada saat Zakaria membakar ukupan di Bait Suci. Malaikat
juga mengatakan bahwa kerika anak itu lahir Zakaria harus menamai anak itu
Yohanes.
Bayi
tabung bukan dilakukan melalui hubungan seks. Itulah sebabnya agama Kristen
menyetujui. Karena pada mulanya Tuhan Yesus lahir kebumi bukan melalui hubungan
seks antara Maaria dan Yusuf, melainkan melalui roh kudus. (Lukas
2:28-38; Pemberitahuan tentang Kelahiran Yesus)
2.5 Pandangan Agama Hindu Mengenai
Program Bayi Tabung
Menurut Ketut Wilamurti, S.Ag dari
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PDHI) dan Bhikku Dhammasubho Mahathera dari
Konferensi Sangha Agung Indonesia (KASI).
Embrio adalah mahluk hidup. Sejak
bersatunya sel telur dan sperma, ruh Brahman sudah ada didalamnya, tanda-tanda
kehidupan ini jelas terlihat. Karena itu, embrio yang dihasilkan baik secara
alarm" (hamil karena hubungan seks/tanpa menggunakan teknologi fertilisasi),
dan kehamilan non alami (hamil karena menggunakan teknologi fertilisasi; Bayi
tabung) merupakan suatu hasil ciptaan Ranying Hatalla dan hasil ciptaan
manusia.
Menurut agama Hindu program bayi tabung tidak disetujui karena sudah melanggar ketentuan.
Diartikan melanggar ketentuan karena sudah melanggar kewajaran Tuhan (Ranying
Hatalla) untuk menciptakan manusia.
Bayi Tabung:
1.
Bayi tabung
dapat diterima atas persetujuan suami-isteri.
Bayi tabung dilakukan oleh pasangan
suami isteri yang siap dan mengingini seorang anak. Tidak ada satupun yang bisa
melarang termasuk hukum. Karena hak ini terdapat dalam UUD bab XA Pasal 28B
ayat l yaitu setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
2.
Insemi atau
pembuahan secara suntik bagi umat hindu dipandang tidak sesuai dengan tata
kehidupan agama hindu, karena tidak melalui ciptaan Tuhan.
Walaupun
bayi tabung bisa dilakukan oleh pasangan suami isteri yang siap dan mengingini
anak, Agama hindu kaharingan tidak mengizinkan atau memperbolehkan teknologi
fertilisasi ini. Karena perbuatan ini sudah melanggar hak cipta yang dilakukan
oleh Ranying Hatalla. Seperti yang diakui oleh umat hindu bahwa Ranying Hatala
Katamparan yaitu Ranyaing Hatala yang telah menciptakan manusia. Pada mulanya
ranying Menciptakan nenek moyang (disebut Raja Bunu) di Pantai danum Sangiang,
sebelum diturunkan ke Pantai Danum Kalunen Ranying Hatalla terlebih dahulu
membekali Raja Bunu dengan segala aturan, tata cara, bahkan pengalaman langsung
untuk menuju ke kehidupan sempurna yang abadi.
2.6 Pandangan Agama Budha Mengenai
Program Bayi Tabung
Ketika
banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, Agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan tempat
untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi,
perkembangan bioteknologi, maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi
mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta oleh Stephen Hawking),
agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal tersebut. Bagi ajaran
Buddha, perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat
dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain dapat dipakai untuk
menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut,
melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika
dipakai untuk melukai.
Kesimpulannya, di dalam ajaran Agama
Buddha itu sendiri tidak ditolak adanya bayi tabung. Bahkan kloning pun juga
tidak di tolak. Jadi, di lain kata dapat dikatakan bahwa bayi tabung atau
inseminasi buatan di dalam agama ini diperbolehkan.
KELUARGA BERENCANA
2.1 Pengertian KB
KB dapat dipahami sebagai suatu program nasional yang
dijalankan pemerintah untuk mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan
pertumbuhan populasi penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan
jasa. Dalam pengertian ini, KB didasarkan pada teori populasi menurut Thomas
Robert Malthus. KB dalam pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid
an-nasl (pembatasan kelahiran). Disisi lain KB atau keluarga berencana itu
telah diselewengkan fungsinya. Pengertian Keluarga Berencana yang sebenarnya
adalah keluarga yang merencanakan sekolah, pekerjaan, makanan, dan bukan
mencegah kehamilan. Namun sekolah dan pekerjaan bukan kita yang mengatur,
sebab Allah yang akan mengaturnya. Mengatur makanan juga perlu, akan tetapi
merencanakan jumlah anggota keluarga dan waktunya atas izin Allah SWT tntunya
merupakan suatu ilmu yang Allah SWT berikan untuk umatnya.
Kontrasepsi sebagai sarana
pengaturan jarak kehamilan sampai saat ini masih menjadi kontroversi di
kalangan ilmuwan Islam. Ada yang menyatakn bahwa KB merupakan rekayasa Yahudi
untuk melemahkan Islam. Namun masalah yang beredar di masyarakat bahwa KB
merupakan rekayasa Yahudi blum dapat dikatakn benar karena dapat kita lihat
bahwa masyarakat Yahudi sendiri, misalnya di Eropa dan Amerika sangat menjaga
jumlah anak yang dilahirkan dengan menggunakan cara KB ini. Persentase
penggunaan alat KB di negara-negara tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan di
negara-negara Islam. Kalau memang KB itu buruk, tentunya mereka tidak akan
seteledor itu menggunakannya.
Alat KB merupakan metode yang
dapat dipilih. Sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya, alat ini tidak
akan mengganggu kesuburan atau kesehatan, sehingga diharapkan dapat diatur
kapan saat yang baik untuk hamil (dalam batas kemampuan manusia). Semua alat KB
ini tentunya mempunyai keterbatasan, yang kita kenal dengan istilah “kegagalan
KB” (tetap hamil walaupun sudah ber-KB dengan baik). Kegagalan KB ini
bervariasi antara di bawah 1% (pada sterilisasi pria/wanita dan pil KB) sampai
sekitar 20-30% (pada istibra berkala/sistem kalender, kondom, diaphragma, yelly
vagina, atau coitus interuptus/sanggama terputus/Azl). Intinya manusia sadar
bahwa ikhtiarnya maksimal hanya bisa sekitar 97-98% karena kesempurnaan
bukanlah milik manusia.
2.2 Pandangan
Agama Mengenai KB
A.
Pandangan Agama Islam
KB secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan
KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan
keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu
mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, Kb juga memiliki sejumlah
manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi
dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan
maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.
1.
Halal Kalau Motivasinya Benar
Motivasi yang melatar-belakanginya bukan karena takut
tidak mendapat rezeki. Karena bila motivasinya seperti ini, berarti kita telah
kufur kepada salah satu sifat Allah, yaitu Ar-Razzaq. Sifat Allah SWT yang satu
ini harus kita imani dalam bentuk kita yakin sepenuhnya bahwa tidak ada satu
pun bayi lahir kecuali Allah telah menjamin rezeki untuknya. Karena itu
membunuh bayi karena takut kelaparan dianggap sebagai dosa besar di dalam
Al-Quran.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka. (QS. Al-An’am:
151)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra’:31)
Motivasi yang dibenarkan adalah mencegah sementara
kehamilan untuk mengatur jarak kelahiran itu sendiri. Atau karena alasan medis
berdasarkan penelitian para ahli berkaitan dengan keselamatan nyawa manusia
bila harus mengandung anak. Dalam kasus tertentu, seorang wanita bila hamil
bisa membahayakan nyawanya sendiri atau nyawa anak yang dikandungnya. Dengan
demikian maka dharar itu harus ditolak.
2.
Halal Kalau Metodenya Dibenarkan Syariah
Metode pencegah kehamilan serta
alat-alat yang digunakan haruslah yang sejalan dengan syariat Islam. Ada metode
yang secara langsung pernah dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW dan para
shahabat dan ada juga yang memang diserahkan kepada dunia medis dengan syarat
tidak melanggar norma dan etika serta prinsip umum ketentuan Islam.
Contoh metode pencegah kehamilan
yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW adalah ‘azl (coitus interruptus).
Dari Jabir berkata:` Kami melakukan
`azl di masa Nabi saw sedang Al-Qur`an turun (HR Bukhari dan Muslim) Dari
Jabir berkata: `Kami melakukan `azl di masa Rasulullah saw, dan Rasul
mendengarnya tetapi tidak melarangnya` (HR muslim).
Sedangkan metode di zaman ini yang
tentunya belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW membutuhkan kajian yang
mendalam dan melibat para ahli medis dalam menentukan kebolehan atau
keharamannya.
·
Pandangan Al-Qur’an Tentang
Keluarga Berencana
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita
laksanakan dalam kaitannya dengan KB diantaranya ialah :
-
Surat An-Nisa’ ayat 9, yang artinya:
“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah.Mereka khawatir terhadap kesejahteraan
mereka.Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Selain ayat diatas masih banyak ayat yang berisi petunjuk tentang
pelaksanaan KB diantaranya ialah suratal-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14,
al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan at-Thalaq: 7.
Dari
ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu
dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan
kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup berumah tangga.
·
Pandangan al-Hadits Tentang
Keluarga Berencana
Dalam Hadits
Nabi diriwayatkan:
“Sesungguhnya
lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari
pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.”
Dari hadits
ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga
selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi
orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan
bersama.
·
Batasan Keluarga Berencana
Dalam Islam
Mengenai boleh
atau tidaknya keluarga berencana dalam islam, terjadi pro dan kontra, ada yang
melarang dan ada yang memperbolehkan seperti yang diuraikan sebelumnya.
Walaupun demikian dalam makalah ini saya setuju dengan dibolehkannya kelurga
berencana, karena dengan begitu akan mempermudah pemerintah untuk pemerataan
perekonomian sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mensejahterakan warga
negaranya.
Ada banyak
pendapat mengenai boleh atau tidaknya KB dalam pandangan islam antara lain:
Mahmud
Syaitut berpendapat, kalau program KB itu dimaksudkan sebagai usaha pembatasan
anak dalam jumlah tertentu, misalnya hanya 3 anak untuk setiap keluarga dalam
segala kondisi tanpa kecuali, maka hal tersebut bertentangan dengan syariat
Islam, hukum alam dan hikmah Allah menciptakan manusia ditengah-tengah alam
semesta ini untuk kesejahteraan hidupnya. Tetapi jika kelahiran atau usaha
pencegahan kehamilan sementara atau untuk selamanya , sehubungan dengan kondisi
khusus, baik untuk kepentingan keluarga yang bersangkutan maupun untuk
kepentingan masyarakat dan negara tidak dilarang oleh agama. Misalnya
suami/istri menderita penyakit yang berbahaya yang bisa menurun kepada
keturunannya.(Vide Mahmud Syaitut, Al-Fatawa . Darul Qalam, s.a, hlm.294-297)
Jika program
Keluarga Berencana (KB) dimaksudkan untuk membatasi kelahiran, maka hukumnya
tidak boleh. Karena Islam tidak mengenal pembatasan kelahiran (tahdid
an-nasl).Bahkan, terdapat banyak hadits yang mendorong umat Islam untuk
memperbanyak anak. Misalnya: Tidak bolehnya membunuh anak apalagi karena takut
miskin (QS. al-Isra’: 31), perintah menikahi perempuan yang subur dan banyak
anak, penjelasan yang menyebutkan bahwa Rasulullah berbangga di Hari Kiamat
dengan banyaknya pengikut beliau (HR. Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad), dan sebagainya.
Yang dikenal dalam Islam adalah pengaturan kelahiran (tanzhim an-nasl).Hal ini
didasarkan pada para sahabat yang melakukan azal di masa Nabi, dan beliau tidak
melarang hal tersebut.(HR. Bukhari dan Muslim). Azal adalah mengeluarkan sperma
di luar rahim ketika terasa akan keluar, atau istilah medisnya Coitus
interuptus atau senggama terputus, yaitu dilakukan sewaktu berhubungan suami
isteri , dimana pengeluaran dari sperma dilakukan diluar vagina.
Beberapa
alasan yang membenarkan pengaturan kelahiran antara lain: pertama, kekhawatiran
akan kehidupan dan kesehatan ibu jika ia hamil atau melahirkan, berdasarkan
pengalaman atau keterangan dari dokter yang terpercaya. Firman Allah: “Dan
janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kebinasaan.” (QS. al-Baqarah:
195)., khawatir akan kesulitan materi yang terkadang menyebabkan munculnya
kesulitan dalam beragama, lalu menerima saja sesuatu yang haram dan melakukan
hal-hal yang dilarang demi anak-anaknya. Allah berfirman: “Allah menghendaki
kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. al-Baqarah: 185).
Ketiga, alasan kekhawatiran akan nasib anak-anaknya; kesehatannya buruk atau
pendidikannya tidak teratasi). Alasan lainnya adalah agar bayi memperoleh
susuan dengan baik dan cukup, dan dikhawatirkan kehadiran anak selanjutnya
dalam waktu cepat membuat hak susuannya tidak terpenuhi.Membatasi anak dengan
alasan takut miskin atau tidak mampu memberikan nafkah bukanlah alasan yang
dibenarkan.Sebab, itu mencerminkan kedangkalan akidah, minimnya tawakal dan keyakinan
bahwa Allah Maha Memberi rezeki. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kalian
membunuh anak-anak kalian karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki
kepada mereka dan kepada kalian.” (QS. al-Isra: 31).
Seperti yang
telah diuraikan sebelumnya bahwa didalam Al-qur`an dan Hadist , yang merupakan
sumber pokok hukum Islam dan yang menjadi pedoman hidup umat islam, tidak ada
nas yang sharih (clear steatment) yang melarang ataupun yang memerintahkan
ber-KB secara eksplisit. Karena itu hukum ber-KB harus dikembalikan kepada
kaidah kaidah hukum islam yang menyatakan Pada dasarnya segala sesuatu
perbuatan itu boleh , kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.
Selain
berpegang dengan kaidah hukum islam tersebut diatas , kita juga bisa menemukan
beberapa ayat Al-qur`an dan Hadist Nabi yang memberikan indikasi, bahwa pada
dasarnya Islam memperbolehkan orang ber-KB. Bahkan kadang-kadang hukum ber-KB
itu bisa berubah dari mubah (boleh) menjadi sunah, wajib makruh atau haram ,
seperti halnya hukum perkawinan bagi orang islam yang hukum asalnya mubah.
Tetapi hukum mubah ini bisa berubah sesuai dengan kondisi dan situasi individu
muslim yang bersangkutan dan juga memperhatikan perubahan zaman, tempat dan
keadaan masyarajkat dan negara. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum islam yang
artinya: hukum – hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman tempat
dan keadaan.
-
Surat An-nisa ayat 9 yang
artinya
”Dan hendaklah orang-orang merasa khawatir kalau mereka meninggalkan
dibelakang mereka anak cucu yang lemah , yang mereka khawatir akan
kesejahteraanya . oleh karena itu hendaknya merka bertakwa kepada Allah dan
hendaknya mengucapkan yang benar”.
-
Surat Al-Baqarah ayat 233 yang
artinya :
”Para ibu hendaknya menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan ayah berkewajiban
memberi makan dan pakaian kepada ibu dengna cara yang patut. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya .Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan ahli warisnya berkewajiban demekian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengna kerelaan dari
keduannya untuk musyawarah , maka tidak adadosa atau keduanya. Dan jika ingin
anaknya disusukan oleh orang lain , maka tidak ada dosa baginya apabila kamu
memberikan pembayaran mneurut yang patut. Bertakwalah kepada Allh dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
-
Surat Luqman ayat 14, yang artinya:
”Dan Kami amanatkan kepada manusia terhadap kedua orang tuanya. Ibunya yang
telah mengandung dalam keadaan lemah dan telah menyapihnya dalam dua tahun
.bersyukurlah kepada-KU dan kepada orang tuamu. KepadaKu-lah kamu kembali.”
Dari ayat-ayat diatas memberi petunjuk kepada kita bahwa kita perlu
melaksanakan perencanaan keluarga atas dasar mencapai keseimbangan antara
mendapatkan keturunan dengan:
Ø
Terpeliharanya kesehatan ibu
anak, terjaminnya keselamatan jiwa ibu karena beban jasmani dan rohani selama
hamil , melahirkan, menyusui dan memelihara anak serta timbulbya
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dalam keluarganya.
Ø
Terpeliharanya kesehatan jiwa
, kesehatan jasmani dan rohani anak serta tersedianya pendidikan bagi anak
Ø
Terjaminnya keselamatan agama
orang tua yang dibebani kewajiban mencukupkan kebutuhan hidup keluarga
Dalam ber-KB islam membolehkan untuk Kb coitus Interuptus, IUD dan laktasi,
tetapi untuk KB yang sifatnya sterilisasi seperti vasektomi dan tubektomi yang
berakibat pemandulan tetap hal ini dilarang dalam agama, karena ada beberApa
hal yang prinsipal, yaitu:
Sterilisasi bertentangan dengan tujuan pokok perkawinan menurut islam ,
yakni : perkawinan lelaki dan wanita selain bertujuan unutk mendapatkan
kebAhagiaan suami istri dalam hidupnya dunia akhirat, juga unutk mendapatkan
keturunan yang sah yang diharapakan menjadi anak yang saleh sebagai penerus
cita-citanya.Mengubah ciptaan Tuhan dengan jalan memotong dan menghilangkan
sebagian tubuh yang sehat dan berfungsi (saluran telur).Melihat aurat orang
lain (aurat besar), karena pada dasarnya islam melarang orang melihat aurat
orang lain meskipun sama jenis kelaminnya, kecuali dalam keadaan emergency/
darurat.
B.
Pandangan Agama Kristen
Menurut
Kejadian 1:28, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepadamereka:
“beranak- cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi “, firman Tuhan menjelaskan dalam ayat ini
bahwa manusia diberi tugas oleh Allah untuk berketurunan dan memenuhi bumi guna
menjaga, mengolah, merawat, mengusahakan, dan berkuasa atas bumi.(band. Juga
Kej.2:15).Namun sebelum itu manusia harus diberkati terlebih dahulu oleh
Allah.Ilustrasi diatas adalah contoh keseharian manusia.Apakah keputusan yang
diambil pasangan suami istri itu benar?Mungkin dimata manusia, itu tindakan
yang tepat tapi belum tentu di mata Tuhan.Disinilah kita dapat melihat
perbedaan antara Etika sosial dengan etika Kekristenan.
Etika sosial menonjolkan peran manusia, yakni masyarakat dan hati nurani.Etika
social bersifat humanistik dalam pengambilan keputusan tentang apa yang baik
yang harus dilakukan seseorang.
Secara etika
social keputusan untuk ber-KB yang diambil pasangan suami istri itu adalah
tepat, karena mengingat kegiatan sang istri yang sangat padat dan rencana
keselamatan sang buah hati yang belum ada.Mungkin jika sang istri memaksakan
diri untuk hamil, selain aktivitasnya akan terganggu, keselamatan calon anakpun
akan terancam.Namun Etika Kristen berbicara tentang kehendak Tuhan.Ukuran untuk
menilai tindakan atau tingkah laku manusia menurut Etika Kristen harus dilihat
dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan.Hal ini penting sebab
tindakan yang dinilai benar adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Sedangkan mencari kehendak Tuhan berarti juga mencari Tuhan itu
sendiri.Berangkat dari pemahaman ini, keputusan yang diambil pasangan suami
istri itu telah bertentangan dengan kehendak Tuhan, sebab dalam (Kej 1:28) tadi telah dijelaskan bahwa
salah satu tugas manusia adalah untuk berketurunan,sedangkan pasangan ini belum
mau untuk berketurunan walaupun alasan yang diajukan masuk akal dan sangat
manusiawi. Menunda kehadiran anak dalam keluarga sama juga menolak anugerah
Tuhan dalam hidup manusia. Sesuai dengan firman Tuhan dalam Matius 18:5 “Dan
barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut
Aku”.
Bertitik tolak dari semua ini, apakah kita boleh menyimpulkan bahwa program KB
tidak baik dimata Tuhan? Belum tentu.
Penyelenggaraan Program KB di Indonesia Khususnya, sangatlah bermanfaat untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup.Dalam KB terdapat aspek yang ingin dicapai
dalam bidang pembangunan seperti pembangunan social, kesehatan, pendidikan dan
pengetahuan umum, modernisasi kehidupan, pembangunan melalui ekonomi dan
social, serta kesejahteraan rakyat.Aspek-aspek ini berkaitan erat dengan tugas
manusia dalam pengusahaan. Pemeliharaan,pengolahan dan penguasaan
bumi.Sebenarnya program ini memiliki tujuan yang baik yaitu hanya menunda laju
angka pertumbuhan penduduk, bukan menghentikan manusia untuk bergenerasi.Namun
pemanfaatan program ini sering salah digunakan sehingga citra KB dianggap buruk
oleh sebagian masyarakat.
Berdasarkan paham agama-agama yang ada di Indonesia, pada umumnya menyatakan
dapat menerima gagasan Keluarga Berencana. Dengan kata lain prinsip untuk
mensejahterakan umat manusia dari program KB ini tidak dilarang oleh agama
manapun
Hanya
saja perbedaan pandangan yang masih ada ialah tentang cara-cara pelaksanaannya
atau alat-alat yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam KB
Berikut ini adalah beberapa ayat
yang menjelaskan anak dari perfektif Allah.
Ø Anak adalah
hadiah dari Allah (kejadian 4:1;kejadian 33:5).
-
Kejadian 4:1
Kemudian
manusia itu bersetubuh dengan hawa, istrinya, dan mengandunglah perempuan itu,
lalu melahirkan kain; maka kata perempuan itu: ” aku telah mendapat seorang
anak laki-laki dengan pertolongan Tuhan.”
-
Kejadian 33:5
Kemudian
Esau melayangkan pandangannya, dilihatnya perempuan-perempuan dan anak-anak
itu, lalu ia bertanya: “siapakah orang-orang yang beserta engkau itu?: jawab
yakub: “anak-anak yang telah di karuniakan Allah kepada hambamu ini.”
Ø Anak adalah
warisan dari Tuhan (Mazmur 127:3-5).
-
Mazmur 127:3-5
Ayat 3
Banyak orang
yang berkata tentang aku:
“Baginya
tidak ada pertolongan dari pada Allah.”
Ayat 4
Tetapi
Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah
kemuliaanku
dan yang mengangkat kepalaku.
Ayat 5
Dengan
nyaring aku berseru kepada TUHAN, dan Ia menjawab aku dari gunung- Nya yang
kudus.”
Ø Anak adalah
berkat dari Tuhan (Lukas 1:42).
-
Lukas 1:42
Lalu berseru
dengan suara nyaring: “diberkatilah
Engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.
Ø Anak adalah
mahkota orang-orang tua (Amsal 17:6).
-
Amsal 17:6
Mahkota
orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang
mereka.
Ø Allah
memberkati perempuan-perempuan mandul dengan anak-anak (Mazmur 113:9; kejadian
21:1-3; 25:21-22; 30:1-2; 1 Samuel 1:6-8; Lukas 1:7,24-25).
-
Mazmur 113:9
Ia
mendudukan perempuan yang mandul di rumah sebagai ibu anak-anak, penuh suka
cita.
Haleluya!
-
Kejadian 21:1-3
Ayat 1
Tuhan
memperhatikan Sara, seperti yang di firmankan-Nya, dan Tuhan melakukan kepada Sara seperti yang di
janjikan-Nya.
Ayat 2
Maka
mangandunglah Sara, lalu ia melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham
dalam masa tuanya, pada waktu yang telah ditetapkan, sesuai dengan firman Allah
kepadanya.
Ayat 3
Abraham
menamai anaknya yang baru lahir itu Ishak, yang dilahirkan Sara baginya.
-
Kejadian 25:21-25
Ayat 21
Berdoalah
Ishak kepada Tuhan untuk istrinya, sebab istrinya itu mandul; Tuhan mengabulkan
doanya, sehingga Ribka istrinya itu mengandung.
Ayat 22
tetapi
anak-anaknya bertolak-tolakkan di dalam rahimnya dan ia berkata: “ jika
demikian halnya, mengapa aku hidup?” dan ia pergi meminta petunjuk kepada
Tuhan.
Ayat 23
Firman Tuhan
kepadanya: “dua bangsa ada dalam kandungannya, dan dua suku bangsa akan
berpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang
lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda.”
Ayat 24
Setelah
genap harinya untuk bersalin, memang anak kembar yang didalam kandungannya.
Ayat 25
Keluarlah
yang pertama, warnanya merah, seluruh tubuhnya seperti jubah berbulu; sebab itu
ia di namai Esau.
-
Kejadian 30:1-2
Ayat 1
Ketika di lihat
Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak bagi Yakub, cemburulah ia kepada kakaknya
itu, lalu berkata kepada Yakub: “berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku
akan mati.”
Ayat 2
Maka
bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel
dan ia berkata: “aku kah pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau
mengandung?”
-
1 Samuel 1:6-8
Ayat 6
Tetapi
madunya selalu menyakiti hatinya supaya ia gusar, karena Tuhan telah menutup
kandungannya.
Ayat 7
Demikiannlah
terjadi dari tahun ke tahun; setiap kali Hana pergi kerumah Tuhan, Penina
menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan.
Ayat 8
Lalu Elkana,
suaminya, berkata kepadanya: “Hana, mengapa engkau menangis, dan mengapa engkau
tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih?Bukankah aku lebih berharga bagimu
daripada sepuluh anak laki-laki?”
-
Lukas 1:7,24-25
Ayat 7
Tetapi
mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabeth mandul dan keduanya telah lanjut
umurnya.
Ayat 24-25
Beberapa
lama kemudian Elisabeth, istrinya, megandung dan selama lima bulan ia tidak
menampakkan diri, katanya inilah suatu perbuatan Tuhan bagiku, dan sekarang Ia
berkenan menghapuskan aibku didepan orang.
Ø Allah
membentuk anak-anak dalam kandungan (Mazmur 139:13-16).
-
Mazmur 139:13-16
Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku,
menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena
kejadianku dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar
menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan
ditempat yang tersembunyi, dan aku direkam dibagian-bagian bumi yang paling
bawah, mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya
tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.
Ø Allah
mengetahui anak-anak sebelum mereka dilahirkan (Yeremia 1:5; Galatia 1:15).
-
Yeremia 1:5
Sebelum Aku
membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum
engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah
menetapkan engkau menjadi nabi bagi bagsa-bangsa.
-
Galatia 1:15
Tetapi waktu
Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih
karunia-Nya.
C.
Pandangan Agama Budha
Masalah kependudukan dan keluarga berencana belum
timbul ketika budha Gautama masih hidup. Tetapi kita bisa menelaah ajarannya
yang relevan dengan makna keluarga berencana. Kebahagiaan dalam keluarga adalah
adanya hidup harmonis antara suami istri dan antara orang tua dan anaknya.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah berusaha menimbulkan dan
memperkembangkan kesejahteraan untuk anak-anaknya.
Jadi, bila kita perhatikan kewajiban
tersebut maka program KB patut dilaksanakan karena KB menimbulkan kesejahteraan
keluarga. Keluarga berencana dibenarkan dalam agama budha dan umat budha
dibebaskan memilih cara KB yang cocok.
Menurut agama Buddha, semua gerak
kehidupan terjadi karena adanya hukum Sebab dan Akibat atau hukum Karma. Hal
ini berarti bahwa segala sesuatu yang terjadi dan tercipta dalam alam semesta
ini, disebabkan oleh karena adanya proses sebab dan akibat.
Sebab adanya Keluarga Berencana
adalah karena adanya keluarga yang tidak sejahtera yang dikarenakan karena
adanya pertambahan jumlah kelahiran yang tidak terbatas, yang sama sekali tidak
seimbang dengan tambahan makanan dan sarana-sarana sosial dan pendidikan.
Karena itu usaha Keluarga Berencana adalah untuk mengendalikan, membatasi,
menjarangkan kelahiran dengan cara-cara ilmiah yang dihalalkan oleh agama.
Adapun pencegahan kehamilan secara
ilmiah tersebut adalah :
1. Menggunakan
sifat-sifat ilmiah dari badan (sistim berkala)
2. Menggunakan
alat medis untuk wanita, yaitu dalam bentuk tablet dan alat-alat kedokteran
seperti IUD (Intra Uterine Device = alat-alat kandungan) atau spiral
3. Untuk pria
digunakan kondom (sarkom)
4. Menggunakan
cara operasi yang sifatnya tetap seperti :
1) Untuk Pria : Castrasi (kebiri) kedua
buah zakar diambil serta Vasectomi pengikatan pembuluh sperma
2) Untuk Wanita : Operasi Kaisar,
pemotongan kandungan dan Cigasi, pengikatan saluran kesuburan
Pandangan agama Buddha tentang
pencegahan kelahiran yang dilakukan di dalam proses Keluarga Berencana bukan
merupakan pembunuhan tetapi untuk menahan proses kehidupan serta tidak
bertentangan dengan Pancasila Buddhis yang pertama "Kami berjanji untuk
menghindari Pembunuhan / Panatipata Veramani Sikkhapadang Samadiyami ",
karena yang disebutkan adanya unsur pembunuhan adalah :
1. Adanya
makhluk hidup
2. Mengetahui
bahwa makhluk itu ada dan hidup.
3. Adanya niat
untuk membunuh makhluk tersebut
4. Dilaksanakannya
perbuatan membunuh itu
5. Dan
terbunuhnya makhluk tersebut akibat perbuatan membunuh itu
Dan kontrasepsi dilakukan atas dasar
saling pengertian antara suami istri dengan maksud memberikan kesempatan
mendidik, merawat dan mempersiapkan diri untuk penghidupan anak-anak yang sudah
ada yang disesuaikan dengan kemampuan sosial ekonomi dari orang tuanya.
Serta tidak adanya unsur-unsur untuk
melarikan diri dari rasa tanggung jawab teknis maupun biologis. Dan harus ada
dasar bimbingan dan pengawasan para ahli yang bersangkutan.
Hal ini sesuai dengan Buddha Dharma
adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup dalam keluarga dengan terbentuknya
Keluarga Sejahtera.
D.
Pandangan Agama Hindu
KB menurut
Agama Hindu diperbolehkan karena Kb dapat membatasi jumlah anak dengan tujuan
agar sejahtera.
2.3 Tujuan Dari Ber-KB
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi
memiliki tujuan:
a. Tujuan demografi
yaitu mencegah terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju pertumbuhan
penduduk (LLP) dan hal ini tentunya akan diikuti dengan menurunnya angka
kelahiran atau TFR (Total Fertility Rate) dari 2,87 menjadi 2,69 per wanita.
Pertambahan penduduk yang tidak terkendalikan akan mengakibatkan kesengsaraan
dan menurunkan sumber daya alam serta banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dan
kesenjangan penyediaan bahan pangan dibandingkan jumlah penduduk. Hal ini
diperkuat dengan teori Malthus (1766-1834) yang menyatakan bahwa pertumbuhan
manusia cenderung mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan bahan pangan
mengikuti deret hitung.
b. Mengatur
kehamilan dengan menunda perkawinan, menunda kehamilan anak pertama dan menjarangkan
kehamilan setelah kelahiran anak pertama serta menghentikan kehamilan bila
dirasakan anak telah cukup.
c.
Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi pasangan yang telah menikah lebih
dari satu tahun tetapi belum juga mempunyai keturunan, hal ini memungkinkan
untuk tercapainya keluarga bahagia.
d.
Married Conseling atau nasehat perkawinan bagi remaja atau pasangan yang akan
menikah dengan harapan bahwa pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman
yang cukup tinggi dalam membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas.
e. Tujuan
akhir KB adalah tercapainya NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera)
dan membentuk keluarga berkualitas, keluarga berkualitas artinya suatu keluarga
yang harmonis, sehat, tercukupi sandang, pangan, papan, pendidikan dan
produktif dari segi ekonomi.
INSEMINASI
2.1
Pengertian
Inseminasi
Secara
sederhana, inseminasi (buatan) adalah proses penempatan sperma dalam organ
reproduksi wanita dengan tujuan untuk mendapatkan kehamilan. Ini harus
dilakukan pada masa paling subur dari seorang wanita, yakni sekitar 24-48 jam
sebelum ovulasi terjadi. Inseminasi buatan yang paling populer digunakan adalah
IUI atau Intra Uterine
Insemination. IUI merupakan proses fertility treatment yang
melibatkan air mani yang dicuci dan kemudian ditransfer ke dalam rahim wanita
dengan menggunakan jarum suntik khusus. Cara ini merupakan cara yang paling
umum dan biasanya berhasil.
2.2
Jenis-jenis Inseminasi
Selain IUI, ada juga beberapa proses inseminasi lain yang perlu kita
ketahui:
1.
Intravaginal Insemination (IVI)
Yaitu jenis
inseminasi yang paling sederhana, dan melibatkan penempatan sperma ke dalam
vagina wanita. Idealnya, sperma harus ditempatkan sedekat mungkin dengan leher
rahim. Metode inseminasi ini dapat digunakan bila menggunakan sperma donor, dan
ketika tidak ada masalah dengan kesuburan wanita. Namun, tingkat keberhasilan
IVI tidak sesukses IUI, dan ini merupakan proses inseminasi yang tidak umum.
2.
Intracervical Insemination (ICI)
Dengan
proses ICI, sperma ditempatkan secara langsung di dalam leher rahim. Sperma
tidak perlu dicuci, seperti dengan IUI, karena air mani tidak langsung
ditempatkan di dalam rahim. ICI lebih umum daripada IVI, tapi masih belum
sebaik IUI dari prosentase keberhasilannya. Dan lagi, biaya inseminasi dengan
ICI biasanya lebih rendah daripada IUI karena sperma tidak perlu dicuci.
3.
Intratubal Insemination (ITI)
Proses ITI
merupakan penempatan sperma yang tidak dicuci langsung ke tuba fallopi seorang
wanita. Sperma dapat dipindahkan ke tabung melalui kateter khusus yang
berlangsung melalui leher rahim, naik melalui rahim, dan masuk ke saluran tuba.
Metode lainnya dari ITI adalah dengan operasi laparoskopi. Sayangnya,
inseminasi melalui ITI memiliki resiko lebih besar untuk infeksi dan trauma,
dan ada perdebatan dikalangan ahli tentang kefektifannya daripada IUI biasa. Karena
sifatnya invasif, biaya ITI lebih tinggi, dan tingkat keberhasilannya tidak
pasti.
Dengan
adanya proses inseminasi ini, banyak pasangan yang akhirnya berhasil memiliki
buah hati. Namun, sering kali kemajuan teknologi ini disalahgunakan. Yang
paling populer adalah dengan adanya donor sperma, terutama bagi kalangan
lesbian atau penganut kebebasan hidup.
2.3
Pandangan Agama terhadap Inseminasi
·
Agama Islam
Masalah inseminasi buatan ini
menurut pandangan Islam termasuk masalah Kontemporer, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun.
Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut hukum islam maka harus
dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad
(mujtahid), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa
al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian
masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi
disipliner, tentunya oleh para ulama dan cendekiawan muslim dari berbagai
disiplin ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang
benar-benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan,
biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut
Mahmud Syaltut penghamilan buatan (jika menggunakan sperma donor) adalah
pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena memasukkan
mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada hubungan nikah secara
syara’, yang dilindungi hukum syara’. Hal senada juga disampaikan
oleh Yusuf
Al-Qardlawi. Beliau menyatakan
bahwa Islam mengharamkan pencakokan sperma apabila pencakokan itu bukan dari
sperma suami.
Dengan demikian, dapat dikatakan
hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan
persoalannya secara jelas. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri
sendiri, maka hal ini dibolehkan, asal keadaan suami isteri tersebut
benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk membantu memperoleh keturunan.
Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al-hajaatu
tanzilu manzilah al dharurah’ (hajat atau kebutuhan yang sangat
mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat).
Sebaliknya,
kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum,
maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak
hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya. Dalam surat Al-Isra ayat 70 disebutkan bahwa “Dan
Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami
ciptakan”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa
manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai
kelebihan/keistimewaan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama manusia.
Pemuliaan manusia bukan hanya dari sisi fisik, namun sisi keturunan pun Allah
bedakan dengan makhluk lain. Sehingga inseminasi buatan dengan donor itu pada
hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang diinseminasi.
Adapun
hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi seseorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain
(istri orang lain).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu
Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para
ulama sepakat mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita
hamil dari istri orang lain.
·
Agama Kristen
Vatikan secara resmi tahun 1987
telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi
jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan
harkat manusia.
Hal ini
karena beberapa alasan, di antaranya:
a. Melibatkan
aborsi
b. Tidak
mempertimbangkan harkat sang bayi sebagai manusia
c. Masturbasi
(pengambilan sperma) selalu dianggap sebagai perbuatan dosa
d.
Dilakukan di luar suami istri yang normal
e. Menghilangkan
hak sang anak untuk dikandung secara normal, melalui hubungan perkawinan suami
istri.
·
Agama Katholik
Menurut
agama katolik hubungan suami istri harus mempunyai tujuan union (persatuan
suami istri) dan procreatin (terbuka untuk kemungkinan lahirnya anak). Maka,
inseminasi baik yang heterolog (melibatkan pihak ke tiga) maupan yang homolog
(antara hubungan suami istri itu sendiri) tidak sesuai dengan ajaran iman
katolik, karena dalam prosesnya meniadakan proses union (persatuan suami
istri).
·
Agama Hindu
Inseminasi
atau pembuahan secara suntik bagi umat Hindu dipandang tidak sesuai dengan tata
kehidupan agama Hindu, karena tidak melalui samskara dan menyulitkan dalam
hukum kemasyarakatan.
·
Agama Budha
Dalam
pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban.
Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah
tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara
sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini ataupun tinggal di rumah
sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya
dalam agama Budha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah
terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat
berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya,
melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang
demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam
rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha. Dengan demikian,
inseminasi tidak diperbolehkan dalam agama budha.
2.4
Dampak Inseminasi
Keberhasilan inseminasi buatan tergantung tenaga ahli
di labolatorium, walaupun prosedurnya sudah benar, bayi dari hasil inseminasi
buatan dapat memiliki resiko cacat bawaan lebih besar daripada
dibandingkan pada bayi normal. Penyebab dari munculnya cacat bawaan adalah
kesalahan prosedur injeksi sperma ke dalam sel telur. Hal ini bisa terjadi
karena satu sel sperma yang dipilih untuk digunakan pada inseminasi buatan
belum tentu sehat, dengan cara ini resiko mendapatkan sel sperma yang secara
genetik tidak sehat menjadi cukup besar. Cacat bawaan yang paling sering muncul
antara lain bibir sumbing, down sindrom, terbukanya kanal tulang belakang,
kegagalan jantung, ginjal, dan kelenjar pankreas.
ABORSI
Aborsi dalam
dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Menurut
Fact About Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh Institute for Social,
Studies and Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan aborsi didefinisikan
sebagai penghentian kehamilan setelah
tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia
janin (fetus) mencapai 20 minggu. Aborsi atau gugur kandungan dapat dilakukan
secara sengaja maupun tidak sengaja.
2.2 Hukum yang Mengatur tentang Aborsi
Provoktus Bedasarkan Al- Quran, Hadits,
dan Para Ulama
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja
dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat
hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi dianggap belum dapat hidup diluar
kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28 minggu, atau berat badan
bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan berat
dibawah 1000 gram dapat terus hidup.
Pengelompokan abortus provokatus secara lebih spesifik:
a.
Aborsi Spontan / Alamiah atau abortus spontaneous, aborsi yang dilakukan tidak sengaja atau alamiah berlangsung
tanpa tindakan apapun.
b. Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di
Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan nyawa ibu.
c. Abortus Provokatus Kriminalis
(buatan atau sengaja), Adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi ini sengaja dilakukan
tanpa adanya indikasi medik (illegal) dan disadari oleh calon ibu maupun si
pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). ).
Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat
tertentu.
Tidak ada
satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan oleh
umat Islam. Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa janin
dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa
hukuman bagi orang-orang yang membunuh
sesama manusia adalah sangat mengerikan.
a) Pertama: Manusia berapapun kecilnya adalah ciptaan Allah yang
mulia.
Agama Islam
sangat menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat dalam
Al-Quran yang bersaksi akan hal ini. Salah satunya, Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS 17:70)
b) Kedua: Membunuh satu nyawa sama
artinya dengan membunuh semua orang. Menyelamatkan satu nyawa sama artinya
dengan menyelamatkan semua orang.
Didalam
agama Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang lain, memiliki
dampak yang sangat besar. Firman Allah:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena sebab-sebab
yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena kerusuhan di muka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32)
c)
Ketiga: Umat Islam dilarang melakukan
aborsi dengan alasan tidak memiliki uang yang cukup atau takut akan kekurangan
uang.
Banyak calon ibu yang masih muda
beralasan bahwa karena penghasilannya masih belum stabil atau tabungannya belum
memadai, kemudian ia merencanakan untuk menggugurkan kandungannya. Alangkah
salah pemikirannya. Ayat Al-Quran mengingatkan akan firman Allah yang bunyinya:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang
memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah dosa yang besar.” (QS 17:31)
d)
Keempat:
Aborsi adalah membunuh. Membunuh berarti melawan terhadap perintah Allah.
Membunuh
berarti melakukan tindakan kriminal. Jenis aborsi yang dilakukan dengan tujuan
menghentikan kehidupan bayi dalam kandungan tanpa alasan medis dikenal dengan
istilah “abortus provokatus kriminalis” yang merupakan tindakan kriminal –
tindakan yang melawan Allah. Al-Quran menyatakan: “Adapun hukuman terhadap
orang-orang yang berbuat keonaran terhadap Allah dan RasulNya dan membuat
bencana kerusuhan di muka bumi ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong
tangan dan kakinya secara bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya.
Hukuman yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di
akhirat mereka mendapat siksaan yang pedih.” (QS 5:36).
e) Kelima:
Sejak kita masih berupa janin, Allah sudah mengenal kita.
Sejak kita
masih sangat kecil dalam kandungan ibu, Allah sudah mengenal kita. Al-Quran
menyatakan:”Dia lebih mengetahui keadaanmu, sejak mulai diciptakaNya unsur
tanah dan sejak kamu masih dalam kandungan ibumu.”(QS: 53:32) Jadi, setiap
janin telah dikenal Allah, dan janin yang dikenal Allah itulah yang dibunuh
dalam proses aborsi.
f) Keenam:
Tidak ada kehamilan yang merupakan “kecelakaan” atau kebetulan. Setiap janin
yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah.
Allah
menciptakan manusia dari tanah, kemudian menjadi segumpal darah dan menjadi
janin. Semua ini tidak terjadi secara kebetulan. Al-Quran mencatat firman
Allah: “Selanjutnya Kami dudukan janin itu dalam rahim menurut kehendak Kami
selama umur kandungan. Kemudian kami keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai
bayi.” (QS 22:5) Dalam ayat ini malah
ditekankan akan pentingnya janin dibiarkan hidup “selama umur kandungan”. Tidak
ada ayat yang mengatakan untuk mengeluarkan janin sebelum umur kandungan
apalagi membunuh janin secara paksa.
g) Ketujuh: Nabi Muhammad SAW tidak
pernah menganjurkan aborsi. Bahkan dalam kasus hamil diluar nikah sekalipun,
Nabi sangat menjunjung tinggi kehidupan.
Hamil diluar
nikah berarti hasil perbuatan zinah. Hukum Islam sangat tegas terhadap para
pelaku zinah. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW –
seperti dikisahkan dalam Kitab Al-Hudud – tidak memerintahkan seorang
wanita yang hamil diluar nikah untuk menggugurkan kandungannya: Datanglah
kepadanya (Nabi yang suci) seorang wanita dari Ghamid dan berkata,”Utusan
Allah, aku telah berzina, sucikanlah aku.”. Dia (Nabi yang suci) menampiknya.
Esok harinya dia berkata,”Utusan Allah, mengapa engkau menampikku? Mungkin
engkau menampikku seperti engkau menampik Ma’is. Demi Allah, aku telah hamil.”
Nabi berkata,”Baiklah jika kamu bersikeras, maka pergilah sampai anak itu
lahir.” Ketika wanita itu melahirkan datang bersama anaknya (terbungkus) kain
buruk dan berkata,”Inilah anak yang kulahirkan.” Jadi, hadis ini menceritakan bahwa walaupun
kehamilan itu terjadi karena zina (diluar nikah) tetap janin itu harus
dipertahankan sampai waktunya tiba. Bukan dibunuh secara keji.
2.3 Perspektif (sudut
pandang) aborsi dari tinjauan hukum agama Kristen.
Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa
Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan seperti yang dilakukan dalam
tindakan aborsi.
a.
Jangan pernah berpikir bahwa janin
dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.
Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam
rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari
kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi
nabi bagi bangsa-bangsa.”
Kej 16:11; Kej 25:21-26; Hos 12:2-3; Rom 9:10-13; Kel 21-22; Yes 7:14; Yes
44:2,24; Yes 46:3; Yes 49:1-2;
Yes 53:6; Ayb 3:11-16; Ayb 10:8-12; Ef 1:4; Mat 25:34; Why 13:8; Why 17:8
b.
Hukuman bagi para pelaku aborsi sangat
keras.
Kel 21:22-25 ~ Apabila ada orang berkelahi dan
seorang dari mereka tertumbuk kepada seorang perempuan yang sedang mengandung,
sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa
maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu
kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan hakim. Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan
yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti
mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur,
luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.
c.
Aborsi karena alasan janin yang cacat
tidak dibenarkan Tuhan.
Yoh 9:1-3 ~ Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat
seorang yang buta sejak lahirnya.
Murid-muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa,
orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab
Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…”
Kis 17:25-29; Mzm 94:9; Rom 8:28; Im 19:14; Yes
45:9-12
d. Aborsi karena ingin menyembunyikan aib tidak dibenarkan Tuhan.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.
Kej 19:36-38 ~ Lalu mengandunglah kedua anak Lot itu dari ayah mereka. Yang lebih tua melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Moab; dialah bapa orang Moab yang sekarang. Yang lebih mudapun melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ben-Ami; dialah bapa bani Amon yang sekarang.
Kej 50:20; Rom 8:28
e.
Tuhan tidak pernah memperkenankan anak
manusia dikorbankan. Apapun alasannya.
Kel 1:15-17 ~ Raja Mesir juga memerintahkan kepada bidan-bidan yang
menolong perempuan Ibrani, seorang bernama Sifra dan yang lain bernama Pua,
katanya: “Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu
harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus
membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup.” Tetapi bidan-bidan itu takut akan Allah dan
tidak melakukan seperti yang dikatakan raja Mesir kepada mereka, dan membiarkan
bayi-bayi itu hidup.
Yeh 16:20-21; Yer 32:35; Mzm 106:37-42 ; II Raj
16:3; 17:17 ; 21:6 ; Ul 12:31; 18:10-13; Im 18:21, 24 dan 30
f.
Anak-anak adalah pemberian Tuhan. Jagalah sebaik-baiknya.
Kej 30:1-2 ~ Ketika dilihat Rahel, bahwa ia tidak melahirkan anak
bagi Yakub, cemburulah ia kepada kakaknya itu, lalu berkata kepada Yakub: “Berikanlah
kepadaku anak; kalau tidak, aku akan mati.”
Maka bangkitlah amarah Yakub terhadap Rahel dan ia berkata:” Akukah
pengganti Allah, yang telah menghalangi engkau mengandung?”
Mzm 127:3-5 ~ Sesungguhnya, anak laki-laki adalah milik pusaka dari pada Tuhan, dan
buah kandungan adalah suatu upah.
Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada
masa muda. Berbahagialah orang yang
telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara
dengan musuh-musuh di pintu gerbang.
2.4 Perspektif (sudut pandang) Aborsi dari
tinjauan hukum agama Hindu.
Aborsi
dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut "Himsa
karma" yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh,
meyakiti, dan menyiksa. Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan
menghilangkan nyawa, maka aborsi dalam Agama Hindu tidak dikenal dan tidak
dibenarkan.
Jadi
jika aborsi dilihat dari kacamata agama dan alasan medis, ada beberapa perbedaan
pandangan:
a) Perbedaan Pandangan
Perbedaan
pandangan mengenai relasi atau hubungan antara sang ibu dengan janin yang
dikandung. Bilamana janin itu sepenuhnya bagian tubuh sang ibu maka yang “anti”
aborsi menganggap aborsi melanggar hak-hak ibu. Atau sebaliknya kalau sang ibu
itu hanya alat/instrumental saja selama 9 bulan 10 hari, maka ibu tidak
mempunyai hak. Namun yang pasti secara teologis semuanya adalah hak Allah.
b) Perbedaan Paham
Perbedaan paham mengenai kapan dimulainya kehidupan manusia.
Pembuahan terjadi di rahim, di situlah kehidupan dimulai, tapi belum menjadi
manusia. Jadi mempunyai potensi menjadi calon ‘siapa’. Semakin tua usia janin
semakin komplek masalahnya bila melakukan aborsi. Bahwa benar atau salah
melakukan tindakan aborsi, yang pasti salah.
Dalam
kehidupan kita yang dipengaruhi oleh dosa, kita tidak jarang didorong atau
dipaksa untuk melakukan perbuatan yang salah/dosa. Tetapi dalam alasan-alasan
yang positif dan dapat dipertanggungjawabkan aborsi dapat dilakukan, misalnya
untuk hal-hal yang jika tidak dilakukan akan mengakibatkan sesuatu yang sangat
merugikan, missal demi keselamatan jiwa ibu. Namun ini bukan berarti tindakan
aborsi diperbolehkan, karena aborsi tetap akan berlangsung terus. Justru
masyarakat juga harus diberi terapi. Orang-orang yang mendorong aborsi itu yang
harus diperhatikan juga. Oleh karena itu saya menegaskan bahwa etika menjadi
efektif kalau tidak dilihat secara normatif semata, namun harus melihat
realitas yang ada. Permasalahannya bukan boleh atau tidak boleh, benar atau
tidak benar. Prinsip etika harus dikaitkan dengan kenyataan hidup. Realitas
dosa inilah yang menyebabkan masalah aborsi tidak dapat dilihat secara “hitam”
dan “putih.
2.5 Perspektif (sudut
pandang) Aborsi dari tinjauan hukum agama Budha.
Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan
pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim
seorang ibu.
Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup:
a)
Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita
b)
Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma
c)
Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus
kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta),
yang memiliki energi karma.
Dari
penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan
aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu
panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai
berikut:
a)
Ada makhluk hidup (pano)
b)
Mengetahui atau menyadari ada
makhluk hidup (pannasanita)
c)
Ada kehendak (cetana) untuk membunuh
(vadhabacittam)
d)
Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e)
Makhluk itu mati karena
tindakan pembunuhan ( tena maranam)
Apabila terdapat kelima faktor
dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama.
Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan
berakibat buruk yang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang
mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan
tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun
mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian
hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.
Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha
bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan
gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat
perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai
manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan
panjang".
Hendaknya kasus aborsi yang
sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak
menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar
sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program
yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan
dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar